Kamis, 15 September 2011

makalahku 2


Peran pesantren
Oleh: sulthon s
I.  Pendahuluan
Dari sisi sejarah, pesantren dapat dianggap sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pesantren muncul bersamaan dengan proses islamisasi yang terjadi di bumi Nusantara pada abad ke-8 dan ke-9 Masehi[1], dan terus berkembang sampai saat ini.
Ketahanan yang ditampakkan pesantren sepanjang sejarahnya dalam menyikapi perkembangan zaman menunjukkan bahwa sebagai suatu sistem pendidikan, pesantren dianggap mampu berdialog dengan zamannya. Pada gilirannya hal itu telah menumbuhkan kepercayaan sekaligus harapan bagi sementara kalangan, pesantren dapat menjadi lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.
Persoalan yang lalu mengemuka adalah bagaimana agar harapan itu dapat membumi dalam realitas melalui serangkaian upaya dan langkah. Dengan kata lain, pendidikan pesantren sebagai alternatif perlu dirumuskan secara nyata dengan berpijak kepada nilai-nilai hakiki Islam dan konteks kehidupan yang berkembang saat ini. Inilah yang perlu didiskusikan secara kritis sehingga kekurangan yang selama ini masih ada di dunia pesantren dapat dicarikan jalan keluarnya.
Makalah ini akan membahas relevansi pendidikan pesantren dalam kaitanya dengan  perberdayaan masyarakat di era globalisai yang didalamnya mengisyaratkan tiga fungsi yang harus diemban. Pertama Pesantren sebagai pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama (centre of excellence). Kedua Pesantren sebagai lembaga yang mencetak sumberdaya manusia (human resource). Ketiga Pesantren sebagai lembaga yang melakukan pemberdayaan mesyarakat (agen of development).


II.        Pesantren Sebagai Pusat Pengkaderan Pemikir-pemikir Agama
Pesantren dengan segala macam nama, bentuk dan modelnya memiliki jasa besar terhadap penyebaran ajaran Islam yang juga berarti berjasa besar dalam proses penyadaran masyarakat. Menurut data Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama tahun 1988/1989, di Indonesia sudah terdapat sekitar 6.631 pesantren dengan 33.993 kiai dan umlah santri 958 .670 orang[2].
Angka-angka tersebut bukanlah deretan angka pasif dan ‘jumud’, melainkan sebuah angka dinamis yang senantiasa berkembang melanjutkan santri generasi lama, sehingga dengan demikian sudah berjuta santri yang terjun langsung dalam kehidupan nyata masyarakat diseluruh propinsi di Indonesia. Data terbaru menunjukan bahwa setiap propinsi saat ini telah memiliki pesantren, sebuah perkembangan yang cukup berarti dari data tahun 1988 yang menunjukkan bahwa dari 27 propinsi yang ada pada waktu itu masih ada dua propinsi yang tidak memiliki pesantren; Jawa Barat menduduki peringkat pertama dalam hal jumlah pesantrenya yang mencapai 2.479 buah, satu tingkat diatas Jawa Timur yang memiliki 1.995 buah pesantren. Sementara jumlah santri terbesar dimiliki oleh Jawa Timur dengan jumlah 420.997 santri, dan kemudian oleh Jawa Barat dengan jumlah santri 147.382 orang.
Walaupun proses Islamisasi di Indonesai mulai gencar sejak abad 13 M, namun pesantren, baik yang dijawa maupun di Aceh yang bernama Meunasah dan di Minang Kabau dengan nama Surau, baru mendapatkan tempat yang mapan (established) sebagai sebuah sentra kajian ke-Islaman dan pembinaan masyarakat pada abad 18 M. pada waktu itu, pesantren sudah betul-betul mampu membangun sebuah hubungan kemasyarakatan yan cukup baik sehingga ia memiliki citra yang cukup bagus dengan peran yang sangat penting dalam pembangunan desa atau lingkungan sekitarnya[3]
 Dari sini tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa pesantren memang memiliki peran signifikan dalam kaitanya menyiapkan kader-kader pemikir Islam masa depan, pesantren juga telah mewarnai perkembangan Islam di Indonesia melalui jalur pendidikan, terutama pendidikan Islam. Menyingkap dunia pesantren dan menatap wajah Islam di Indonesia ibarat menatap salah satu sisi mata uang logam atau dalam kiasan lain dikatakan setali tiga uang, hal tersebut didasarkan pada konteks peranan dunia pesantren dalam membangun wajah Islam di Indonesia yang tidak bisa diabaikan begitu saja perananya. Karena basis utama pengembangan Islam di Indonesia adalah pondok pesantren.
Dalam penyebaran Islam pertama kali di tanah air Indonesia, kita mengenal pesantren Ampel Denta yang dianggap sebagai pesantren pertama di Indonesia, terletak di sudut kota Surabaya. Pendirinya adalah Raden Rahmat yang bergelar Sunan Ampel. Melalui media "pesantren Ampel Denta" beliau berhasil mencetak dai-dai generasi selanjutnya, seperti Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat. Dari murid-murid beliau terpancarlah cahaya Islam di pulau Jawa dan di Indonesia pada umumnya.
Pada masa selanjutnya muncul sosok kiai kharismatik Jawa yang masyhur dari desa Tegal Sari Jawa Timur, yaitu Kiai Hasan Besari. Diatas sepetak tanah yang beliau miliki, beliau mendirikan masjid dan barak-barak yang di peruntukan bagi santri jauh sebagai penginapan. Dengan kitinggian ilmunya dan diberengi dengan keihlasan beliau dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam, beliau berhasil mencetak kader-kader ulama yang mumpuni dalam meneruskan penyebaran agama Islam, sehingga Islam tidak pernah pudar dari bumi Indonesia. Bahkan semakin mengakar dan kokoh di dalam lubuk sanubari masyarakat Indonesia.
Setelah terjadi persentuhan intelektual antara ulama Indonesia dengan para ulama timur tengah di penghujung abad 20, pesantren sebagi basic intelektual Islam di Indonesia semakin nyata-nyata memainkan perananya dalam membangun setigma wajah Islam di Indonesia. Sosok-sosok seperti Mbah Kholil Bangkalan, KH Hasyim As'ari, Syekh Mahfudz At-Turmusi dan ulama-ulama lainnya adalah tokoh-tokoh penghujung abad 20 dari kalangan pesantren yang telah memoles wajah Islam di Indonesia. Dari mereka-mereka lah bermula intelektualisasi Islam di Indonesia.




III.             Pesantren Sebagai Lembaga Yang Mencetak Sumberdaya Manusia
Dalam pembahasan ini kita akan mencoba berdialog dengan realitas sistem pendidikan yang berkembang di pesantren selama ini. Sampai batas-batas tertentu, pesantren telah berperan besar mengenalkan, menyebarkan, dan mempertahankan Islam (dan nilai-nilai kemanusiaan) di Indonesia. Pola pendidikannya yang amat menekankan fleksibilitas memberi nilai-nilai positif pada pesantren untuk tetap eksis vis-avis perubahan zaman. Pendidikan pesantren muncul dan berkembang sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Meski demikian harus diakui lembaga ini tidak lepas dari kekurangan mendasar, khususnya ketika berhadapan dengan perubahan sosial yang begitu cepat terjadi.
Salah satu aspek mendasar kekurangan itu terutama dalam perspektif modernitas adalah lemahnya pesantren untuk bersikap antisipatif dalam menangkap tanda-tanda zaman. Ketika tuntutan telah berubah dan persoalan sosial amat kompleks, pesantren baik yang salaf maupun modern tetap berkutat dengan kurikulum abad pertengahan. Kalaupun ada inovasi, perubahannya terkesan bersifat tambal sulam bukan perubahan menyeluruh. Di pesantren yang salaf, masuknya ilmu-ilmu eksak dan humaniora masih sangat terbatas dan sekadar tempelan sehingga kecenderungan pemilahan antara ilmu agama dan sekuler tetap kuat. Sedang di pesantren modern pencangkokan ilmu-ilmu barat masih bersifat asal comot dan tidak sistematis sehingga agak terkesan westernized dan tercerabut dari akarnya[4].
Namun terlepas dari itu, masayarakat Islam pada umumnya masih menilai pesantren sebagai institusi pendidikan yang ideal untuk diterapkan pada saat sekarang ini. Pesantren dianggap sebagai lembaga yang dapat membentuk manusia unggul untuk menggapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi. Lulusan pesantren diharapkan memiliki kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang didukung pengetahuan (sekaligus pengalaman) keagamaan yang mumpuni. Sehingga, tidak heran jika kemudian banyak pihak (terutama pemerintah) turut campur dalam menentukan perjalanan masa depan pesantren.
Di antara salah satu bukti keterlibatan pemerintah adalah banyaknya pesantren yang tidak lagi memiliki aturan dan menentukan kurikulumnya sendiri, melainkan pesantren telah mengadopsi kurikulum dan aturan main dalam pendidikan yang ditetapkan oleh negara atau dengan bahasa lain disebut dengan istilah formalisasi pesantren. Hal ini dilakukan karena salah satu persyaratan untuk dapat bersaing di dunia kerja, keahlian seseorang tidak dapat diakui kecuali harus dapat menunjukkan selembar ijazah sebagai bukti kemampuan akademisnya. Atas dasar inilah, akhirnya banyak pengelola pendidikan yang menyelenggarakan sistem pendidikan formal yang beratap terhadap aturan pemerintah dengan berdalih ikut mengantarkan peserta didik (baca: santri)nya dalam memasuki dunia kerja yang penuh kompetitif ini.
Formalisasi pendidikan yang terjadi di pesantren kini  sedikit demi sedikit  telah menghancurkan otoritas masyarakat, terutama kiai. Peran kiai kini tidak lagi menjadi sangat penting dalam kehidupan pesantren yang berubah menjadi lembaga pendidikan formal. Akibat lainnya, pesantren menjadi sekadar pemondokan (baca: asrama) dengan biaya pendidikan yang lebih mahal. Padahal, dalam suatu seminar di Jakarta, Masdar Farid Mas’udi (ahli pendidikan dari Nahdlatul Ulama) menuturkan bahwa sistem pendidikan pesantren sekarang banyak dicontoh oleh lembaga pendidikan sekuler karena dianggap dapat meningkatkan mutu dan kualitas peserta didik[5]. Sampai pada titik ini independensi pesantren sebagai lembaga pencetak sumberdaya manusia yang matang mulai dipertanyakan.
Namun sekali lagi terlepas dari kekurangan dan kelemahan yang ada, penulis masih berpikiran bahwa pesantren sebagai lembaga pencetak sumberdaya manusia yang mumpuni dibidangnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Kelemahan dan kekurangan  merupakan sebuah keniscayaan yang tentunya harus segera disadari dan diupayakan jalan keluarnya sebab seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat, pesantren tidak dapat menghindar dari arus kemodernan. Oleh karena itu, hemat penulis adalah bagaimana dengan keadaan yang demikian, pesantren tetap pada khittahnya, yakni pesantren harus dapat membuktikan bahwa dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat pesantren dapat menghadapi dan tetap dapat melestarikan nilai-nilai kepesantrenannya. Cita-cita luhur pesantren sebagaimana yang telah diwariskan para ulama terdahulu harus tetap dapat diwujudkan yang tentunya juga harus dapat menghasilkan lulusan yang mampu untuk bersaing di zaman sekarang.  

IV.       Pesantren Sebagai Lembaga Yang Melakukan Pemberdayaan Masyarakat

Pesantren sebagai entitas yang hadir ditengah-tengan masyarakat, secara otomatis harus  memiliki peran transformasi sosial sebab pesantren hadir untuk dan berdasarkan kebutuhan masyarakat. Kehadiran pesantren, khususnya pesantren-pesantren besar dimulai dari keinginan para pendirinya untuk mengadakan transformasi masyarakat sekitar. Sejarah sejumlah pesantren di Jawa Timur merepresentasikan hal itu. Para pendiri pesantren pada mulanya memasuki daerah-daerah yang cukup rawan. Karena itu mereka memerlukan beberapa tahun untuk dapat diterima oleh masyarakat. Tatkala kehadiran mereka telah diterima dan mereka memiliki sejumlah pengikut, maka proses integrasi antara pesantren dan masarakat telah bermula[6].
Kongkretnya atas dasar komitmen moral-keagamaan yang dimilikinya itu pesantren berupaya membumikan dan menyebarkan nilai-nilai Islam kedalam kehidupan actual masyarakat lingkunganya. Dalam konteks ini dapat dikatakan, watak sosial pesantren merupakan bagian inherent dari nilai-nilai yang dianut pesntren secara keseluruhan. Peantren hadir dan berkembang dengan peran untuk pengembangan, penyadaran dan penguatan masyarakat, sebagaimana pula berperan signifikan dalam pengembangan Islam di Indonesia. Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra bahwa “ pesantren dalam pengertianya yang luas telah memberikan sumbangan penting dan krusial dalam proses transmisi ilmu-ilmu Islam, reproduksi ulama, pemeliharaan ilmu dan tradisi Islam, dan bahkan pembentukan dan ekspansi masyarakat muslim santri[7].
Meskipun di tas telah kami singgung bahwa pesantren mulai kehilangan independensinya, namun pada awalnya pesantren tumbuh dari bawah dan menjadi lembaga yang relative mandiri dan bersifat otonom. Hal ini berimplikasi positif pada minimnya ketergantungan pesantren kepada pihak atau lembaga lain, sehingga pesantren memiliki kebebasan dan otoritas penuh dalam menentukan sendiri segala kebijakanya. Karakter dasar ini pada giliranya mengantarkan pesantren kepada ketahanan yang cukup tegar dan kukuh dalam menghadapi terpaan segala tantangan sepanjang perjalanan sejarah yang dilaluinya.
Berdasarkan karakter dasar tersebut pesantren terus berproses mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosio-kultural yang mengitarinya. Sebagaimana pernah diungkapkan oleh Abd. A’la Basyir bahwa “pada dekade tujuh puluhan, peran kemasyarakatan pesantren yang ada pada mulanya bersifat sangat sederhana mengalami perubahan menjadi pola kegiatan yang lebih sistematis dan terencana”[8]. Perubahan ini dipicu, diantaranya, oleh terjadinya hubungan yang lebih luas antara pesantren dan lembaga-lembaga lain diluar pesantren.      
Salah satu momen yang memperkuat perubahan itu bermula dari seminar tentang “Partisipasi Sosial” pada bulan September 1971 yang diadakan oleh LP3ES dan Majalah Tempo. Seminar itu mengusulkan penjajagan kemungkinan untuk melibatkan pesantren dalam proses pengambangan masyarakat dalam pembangunan. Dengan kemandirian yang dimiliki, beberapa pesantren menyambut usulan itu dan melakukan kerjasama dengan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat. Salah satu bentuk kegiatan konkret berkaitan dengan peran transformasi pesantren pernah terjadi pada dasar warsa tujuh puluhan akhir terbentuklah badan atau biro pengembangan masyarakat di sejumlah pesantren, seperti di PP.Cipasung Tasikmalaya, PP. Darunnajah Jakarta, PP. Pabelan Malang, PP. Maslakhul Huda Pati, PP. Nurul Jadid Probolinggo, dan PP. Annuqoyah Sumenep. Bentuk kegiatan yang dilakukan pesantren itu meliputi pengembangan teknologi tepat guna, pengembangan usaha ekonomi untuk pedagang kecil, penyadaran lingkungan hidup, dan lain sebaginya[9].
Dengan paradigma keterbukaan yang dimiliki pesantren untuk mau mengembangkan diri dan bekerja sama  dengan pihak lain serta dengan tetap menjaga kemandirianya, maka pesantren dapat menjalankan pengembangan masyarakat atau agenda yang semacam itu secara lebih koordinatif dan terarah. Dengan pola transformasi sosial itu, pesantren dapat menunjukkan suatu keberhasilan yang sampai pada batas tertentu dianggap berhasil melakukan pemberdayaan. Kerja rintisanya bersama lembaga lain dan masayarakat membuahkan hasil berupa peningkatan ekonomi rakyat, berkembangnya kepedulian mereka terhadap lingkungan hidup, tumbuhnya kesadaran keberagaman yang lebih utuh, dan sikap positif lainya. Dengan demikian kegiatan tersebut telah mendorong dan merangsang masyarakat untuk menyelesaikan persoalannya secara mandiri. Dari penjelasan tersebut menjadi jelas bahwa pesantren telah menjadikan dirinya tidak hanya sekedar tempat belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga menjadi sebuah lembaga yang mempunyai peran bearti bagi pemberdayaan masyarakat Indonesia.   

   









V.  Kesimpulan dan Penutup

Dari paparan diatas dapat kami simpulkan;

1.          Pesantren dengan segala macam nama, bentuk dan modelnya memiliki jasa besar terhadap lahirnya para pemikir keagamaan yang pada giliranya akan mewarnai dinamika wajah Islam Indonesia
2.          Kiprah Pesantren sebagai lembaga pencetak sumberdaya manusia tidak diragukan lagi. Dimana dari rahim pesantren telah muncul intelektual-intelektual muslim yang akan melanjutkan estafet perjuangan ulama’ dan kyai di Indonesai.
3.          Pesantren telah membuktikan dirinya tidak sekedar menjadi tempat belajar ilmu-ilmu agama, akan tetapi juga menjadi sebuah lembaga yang mempunyai peran berarti bagi upaya pemberdayaan masyarakat Indonesia kearah yang lebih baik.  

Sebagai http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=7138132378637961641penutup makalah ini dan dengan menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, maka kami berharap kritik dan saran yang konstruktif bagi perkembangan kajian ini di masa yang akan datang. Dan penulis senantiasa berharap semoga sedikit gagasan ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

 











Daftar Pustaka

 1. Http//www//google.co.id. Abd. A’la dalam Pengembangan Pendidikan Pesantren (Telaah Theologis Terhadap Kurikulum dan Metodologi) Senin 11 September 2000.
2. H.M. Sulthon dan Moh Khusnuridlo Manajemen Pondok Pesantren Dalam Perspektif Global LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, 2006, cet I hal 4.
3. Http//www.pesantren.net.
4. Dr. Ahmad Imam Mawardi Pesantren, Pemberdayaan Masyarakat dan Proses Otonomi Daerah dalam Perspektif Baru Pesantren dan Pengembangan Masyarakat. Diterbitkan oleh yayasan Triguna Bhakti. Surabaya, tanpa tahun.  
5. Azyumardi Azra, Renaisance Islam Asia Tengga Sejarah Wacana Dan Kekuasaan, 1999.
7. Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat, pantulan sejarah Indonesia (cetakan pertama Jakarta LP3ES, 1987) hal. 98 
8. Azyumardi Azra, Konteks Bertheologi di Indonesia; Pengalaman Islam (cetakan pertama, Jakarta Paramadina 1999), hal. 184-185 
9. Abd. A’la Basyir “ Pesantren, Community Development dan Otonomi Daerah” Yayasan Triguna Bhakti Surabaya, 2001  
10. Ervan Maryono, “ Aktualisasi Peran Kemasyarakatan Pesantren; Refleksi Pengalaman LSM”. Dalam jurnal pesantren, (no.3/vol/1988), hal. 31











0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Laundry Detergent Coupons